Pages

Saturday, June 15, 2013

Dukung Whistleblowing System Untuk Tata Kelola Perusahaan yang Lebih Baik



Pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada dasarnya dapat menjadi sarana untuk mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan secara lebih baik. Penerapan GCG secara konsisten merupakan kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan di masa sekarang ini karena penerapan GCG bukan hanya dilihat sebagai suatu bentuk kepatuhan semata, tetapi juga merupakan sesuatu yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkesinambungan. Salah satu contoh penerapan GCG yang harus didukung adalah sistem pelaporan pelanggaran atau yang lebih dikenal dengan whistleblowing system.
            Whistleblowing system merupakan salah satu bentuk dari perkembangan implementasi GCG di dunia. Tetapi, nampaknya masih banyak masyarakat Indonesia yang kurang mengerti dan memahami tentang penerapan whistleblowing system ini. Bahkan, masih banyak masyarakat yang tidak tahu sama sekali mengenai whistleblowing system. Padahal, peran dari whistleblowing system cukup besar di dalam memberantas praktik-praktik korupsi, perilaku yang melawan hukum, maupun praktik yang tidak etis di perusahaan. Sehingga, perlu adanya dukungan dan sosialisasi yang lebih baik mengenai penerapan whistleblowing system, agar masyarakat Indonesia dapat lebih berperan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang lebih baik.
Menurut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance), pelaporan pelanggaran (whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan atas pelanggaran tersebut umumnya dilakukan secara rahasia oleh seseorang yang dikenal dengan sebutan “whistleblower.” Seorang whistleblower dapat berasal dari pihak internal maupun eksternal. Contoh whistleblower yang berasal dari pihak internal adalah karyawan yang melaporkan pelanggaran di dalam perusahaan tempat dia bekerja. Sementara, contoh whistleblower yang berasal dari pihak eksternal adalah pelanggan, pemasok, masyarakat, dan pihak eksternal lainnya. Namun, peranan seseorang untuk menjadi whistleblower ini tidaklah mudah. Selain harus memiliki bukti dan informasi yang cukup atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, seorang whistleblower juga harus memiliki nilai moral dan keberanian yang tinggi untuk dapat menyuarakan sesuatu yang benar dan melaporkan tindakan-tindakan yang salah.
Di Indonesia sendiri, peranan dari orang yang ingin menjadi whistleblower masih sangat sedikit karena tidak sedikit risiko yang ada di depan mata seorang whistleblower. Apalagi, di tengah minimnya perlindungan hukum di Indonesia, sehingga seorang whistleblower dapat terancam karena laporan atas dugaan pelanggaran yang terjadi dan bahkan laporan tersebut dapat menjadi bumerang yang dapat mencelakai dirinya sendiri. Hal ini karena para pihak yang merasa dirugikan berkemungkinan besar untuk melakukan perlawanan terhadap whistleblower, misalnya saja orang yang dilaporkan tersebut dapat melaporkan balik seorang whistleblower atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap dirinya. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak yang merasa dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam terhadap whistleblower dan bahkan terhadap keluarga dari whistleblower tersebut. Hal inilah yang membuat banyak orang yang masih enggan untuk menjadi whistleblower.
Untuk itulah, peranan negara di sini sangat penting dalam mendukung whistleblowing system. Hal ini karena belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus dan komprehensif mengatur tentang Sistem Pelaporan Pelanggaran atau Whistleblowing System di Indonesia. Pengaturannya hanya secara implisit termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator). Namun, surat edaran itu pun hanya menyebutkan bahwa perlakuan khusus untuk whistleblower dan justice collaborator hanya untuk kasus-kasus tindak pidana tertentu yang bersifat serius, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, serta tindak pidana lainnya yang menimbulkan masalah dan ancaman yang luas.