Pengelolaan perusahaan berdasarkan
prinsip Good Corporate Governance
(GCG) pada dasarnya dapat menjadi sarana untuk mencapai visi, misi, dan tujuan
perusahaan secara lebih baik. Penerapan GCG secara konsisten merupakan
kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan di masa sekarang ini
karena penerapan GCG bukan hanya dilihat sebagai suatu bentuk kepatuhan semata,
tetapi juga merupakan sesuatu yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai
pertumbuhan yang berkualitas dan berkesinambungan. Salah satu contoh penerapan
GCG yang harus didukung adalah sistem pelaporan pelanggaran atau yang lebih
dikenal dengan whistleblowing system.
Whistleblowing system merupakan salah
satu bentuk dari perkembangan implementasi GCG di dunia. Tetapi, nampaknya masih
banyak masyarakat Indonesia yang kurang mengerti dan memahami tentang penerapan
whistleblowing system ini. Bahkan,
masih banyak masyarakat yang tidak tahu sama sekali mengenai whistleblowing system. Padahal, peran
dari whistleblowing system cukup
besar di dalam memberantas praktik-praktik korupsi, perilaku yang melawan
hukum, maupun praktik yang tidak etis di perusahaan. Sehingga, perlu adanya dukungan
dan sosialisasi yang lebih baik mengenai penerapan whistleblowing system, agar masyarakat Indonesia dapat lebih
berperan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang lebih baik.
Menurut
KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance),
pelaporan pelanggaran (whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan
pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak
etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun
pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi
kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas
pelanggaran tersebut. Pengungkapan atas pelanggaran tersebut umumnya dilakukan
secara rahasia oleh seseorang yang dikenal dengan sebutan “whistleblower.” Seorang whistleblower dapat berasal dari
pihak internal maupun eksternal. Contoh whistleblower
yang berasal dari pihak internal adalah karyawan yang melaporkan
pelanggaran di dalam perusahaan tempat dia bekerja. Sementara, contoh whistleblower yang berasal dari pihak
eksternal adalah pelanggan, pemasok, masyarakat, dan pihak eksternal lainnya. Namun,
peranan seseorang untuk menjadi whistleblower
ini tidaklah mudah. Selain harus memiliki bukti dan informasi yang cukup
atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, seorang whistleblower juga harus memiliki nilai moral dan keberanian yang
tinggi untuk dapat menyuarakan sesuatu yang benar dan melaporkan tindakan-tindakan
yang salah.
Di Indonesia sendiri,
peranan dari orang yang ingin menjadi whistleblower
masih sangat sedikit karena tidak sedikit risiko yang ada di depan mata
seorang whistleblower. Apalagi, di
tengah minimnya perlindungan hukum di Indonesia, sehingga seorang whistleblower
dapat terancam karena laporan atas dugaan pelanggaran yang terjadi dan bahkan
laporan tersebut dapat menjadi bumerang yang dapat mencelakai dirinya sendiri.
Hal ini karena para pihak yang merasa dirugikan berkemungkinan besar untuk
melakukan perlawanan terhadap whistleblower, misalnya saja orang yang dilaporkan tersebut dapat melaporkan balik
seorang whistleblower atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap
dirinya. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak yang merasa
dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam terhadap whistleblower
dan bahkan terhadap keluarga dari whistleblower
tersebut. Hal inilah yang membuat banyak orang yang masih enggan untuk
menjadi whistleblower.
Untuk itulah, peranan
negara di sini sangat penting dalam mendukung whistleblowing system. Hal ini karena belum ada peraturan
perundang-undangan yang secara khusus dan komprehensif mengatur tentang Sistem Pelaporan Pelanggaran
atau Whistleblowing System di
Indonesia. Pengaturannya hanya secara implisit termaktub dalam UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta kemudian diikuti
dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerja Sama (justice collaborator). Namun, surat edaran itu pun hanya menyebutkan
bahwa perlakuan khusus untuk whistleblower dan justice collaborator hanya untuk kasus-kasus tindak pidana
tertentu yang bersifat serius, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme,
narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, serta tindak pidana lainnya yang
menimbulkan masalah dan ancaman yang luas.